Venezuela kaya akan minyak bumi. Cadangan minyak bumi terbesar di dunia ada di negeri ini. Kendati begitu, krisis ekonomi tak berkesudahaan mendera Venezuela.
Apa yang terjadi di Venezuela merupakan kontradiksi. Sebab, tingginya pendapatan negara tak berbanding lurus dengan stabilitas ekonomi nasional. Dengan demikian, muncul pertanyaan mendasar,
“Mengapa Venezuela mengalami krisis?”
Hiperinflasi
Minyak bumi menjadi pendapatan utama negara Venezuela. Komoditas ini mendominasi lebih dari 90% total pendapatan negara. Apalagi akibat kenaikan harga minyak dunia secara signifikan, Venezuela meraup untung besar. Pemerintah mengalokasikan sepenuhnya keuntungan itu untuk kesejahteraan masyarakat. Alhasil, secara bertahap prosentase kemiskinan di Venezuela menurun. Kebijakan ini sejalan dengan ideologi negara Venezuela, sosialisme.
Namun demikian, perkembangan ekonomi Venezuela tak selamanya mulus. Sejumlah masalah muncul dan berujung pada hiperinflasi. Terhitung sejak Juli 2018 prosentase inflasi menyentuh 83.000%. Diperkirakan, hiperinflasi akan terus meningkat hingga 1 juta%.
Krisis Venezuela tak lepas dari faktor eksternal dan internal. Di sisi eksternal, sedikitnya ada tiga faktor pemicu. Di antaranya, sanksi ekonomi Amerika Serikat kepada Venezuela, menurunnya ekspor minyak Venezuela ke Amerika Serikat, dan imbas jatuhnya harga minyak dunia.
Sementara pada sisi internal, situasi politik dalam negeri lebih mendominasi. Pasca Hugo Chavez, pemerintahan Venezuela labil. Akibatnya, politik elektoral kian carut marutnya. Paling telak, lemahnya kebijakan ekonomi Venezuela sejak era Presiden Hugo Chaves sampai Maduro.
Akan tetapi, terlepas itu semua, intervensi asing tampil sebagai faktor utama pemicu krisis di Venezuela. Intervensi ini bertujuan mengguncang kondusifitas Venezuela melalui dekonstruksi struktur sosial.
Kehadiran oposisi di Venezuela, misalnya. Di tengah krisis, oposisi semakin masif mengkritisi kebijakan Maduro melalui berbagai aksi massa mulai dari aksi damai sampai pada aksi yang radikal. Semua aksi ini dianggap sebagai respon terhadap krisis.
Masyarakat Venezuela terpecah atas dua kubu oposisi. Pertama, kubu faksi moderat terdiri dari para mantan pendukung Hugho Chaves. Mereka mengkritik kebijakan Maduro. Kedua, kubu faksi sayap kanan. Para pendukung kubu ini sangat radikal menuntut Maduro mundur sekaligus mengakhiri praktik sosialisme di Venezuela.
Oposisi kalangan legislatif. Oposisi dari lembaga legislatif kini mendominasi sebagian besar kursi di parlemen. Mereka menyerukan militer dan masyarakat untuk melawan rezim Maduro. Mereka menilai Madura sebagai diktator.
Dilema Sosialisme
Krisis Venezuela mempertanyakan kembali soal urgensi sosialisme di Venezuela. Lantaran, sosialisme dianggap telah gagal membangun struktur ekonomi yang stabil dan mapan. Akibatnya, muncul paradigma negatif terhadap sosialisme. Ideologi ini dianggap tak lagi relevan dalam menghadapi situasi ekonomi politik internasional yang semakin menguat.
Apalagi, beberapa negara dunia ketiga dengan haluan sosialisme pernah mengalami krisis serupa. brazil, argentina dan chile adalah contoh pemerintahan yang dahulunya sangat sosialistis, namun pada akhirnya mereka “menyerah pada situasi”. Meski penyebab utama krisis adalah situasi ekonomi setempat, krisis ini tak terlepas dari intervensi pemerintah Amerika Serikat yang salahsatunya melalui lembaga bernama Atlas Network. Operasi Atlas
Network di Amerika Latin berupaya mendorong perubahan rezim suatu negara yang bekerjasama dengan jaringan pro-pasar setempat. Cara kerja ini terbukti berhasil menumbangkan rezim sosialis. Bahkan, Amerika Serikat kini meng intervensi Venezuela secara terang - terangan, dengan mengakui pemimpin oposisi Juan Guaido sebagai presiden sementara Venezuela.
Di pihak lain, justru negara dengan haluan ekonomi kapitalisme justru mampu bertahan menghadapi gejolak perekonomian nasional maupun internasional. Para negara penganutnya mengklaim, kesejahteraan masyarakat dapat dicapai melalui desentralisasi ekonomi, dan akumulasi modal perorangan dalam suatu bisnis tanpa campur tangan pemerintah.
Kendati begitu, ini bukan soal sosialisme atau kapitalisme. Tapi, ini soal kepentingan kelompok. Kepentingan ini memicu tindakan dengan sistem ekonomi sebagai alatnya. Noam Chomsky pernah menyebut bahwa “Salah satu doktrin tidak tertulis dalam hubungan internasional adalah apa yang disebut Doktrin Mafia. Kebijakan internasional negara besar dijalankan kurang lebih sama dengan cara kerja kelompok Mafia itu. Kalau ada pemilik toko yang tidak mau membayar upeti, pemiliknya akan disiksa atau dibunuh. Kadang-kadang kelompok Mafia itu tidak membutuhkan upeti dari pemilik toko kecil tadi, tapi kalau dibiarkan, mereka khawatir pembangkangan itu akan meluas dan melemahkan kekuatan mereka”. Dalam konteks ini, kebijakan ekonomi Venezuela dianggap tak sejalan dengan kepentingan ekonomi politik internasional. Artinya, Venezuela sedang berhadapan dengan sebuah blok ekonomi raksasa yang hegemonik. Kebijakan ekonomi Venezeula menjadi minoritas di hadapan ekosistem ekonomi politik internasional. Konsekuensinya, akan lebih sulit berdaulat. Tak hanya itu, intervensi internasional turut pula mengancam. Ujungnya kebijakan ekonomi Venezuela sulit bertahan.
Venezuela dan negara Dunia Ketiga dengan krisis serupa merupakan korban "Perang Ekonomi". Negara – negara dunia ketiga ini, terutama wilayah Amerika Latin memiliki pengalaman relatif sama, yakni intervensi asing yang memicu goyahnya struktur ekonomi, dan sosial politik. Selanjutnya, kepentingan politik internasional secara sistematis menggerus sosialisme, dan memaksa negara menyerah pada sistem kapitalisme internasional. Tahap berikutnya, Bank Dunia menawarkan pinjaman sebagai solusi. Pinjaman diberikan dengan berbagai syarat. Salah satunya, pengubahan sistem ekonomi menjadi ekonomi liberal.
Krisis ekonomi di Venezuela dan sejumlah negara sosialis lainnya di Dunia Ketiga menyadarkan akan pentingya sebuah wadah bersama. Tak ada cara lain, selain membangun organisasi internasional bagi negara-negara sosialis yang masih berdiri, terutama di Amerika Latin. Melalui wadah ini, negara-negara sosialis tampil sebagai kekuatan baru yang mengimbangi intervensi kapitalisme internasional. Dengan didukung kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang mumpuni, wadah negara- negara sosialis ini akan setara dengan Uni Eropa atau Amerika Serikat. Dengan begitu, mereka dapat membangun perekonomian nasional yang aman dan stabil.