Wednesday, September 25, 2019

30 MENIT SEBELUM NEGARA API MENYERANG


Jam menunjukan setengah empat sore. Aku bersama kedua temanku tengah berada di area pertamanan sebelah barat gedung DPRD untuk beristirahat sejenak. Lalu, Samar - samar hitungan mundur terdengar; “8!..7!...6!...5!...4!...3!...2!...1!”. “wah, pasti mau ngedobrak paksa nih” pikirku dalam hati. Aku dan dua temanku seketika berdiri untuk melihat apa yang terjadi. betul saja, massa aksi tengah mendorong pagar gedung DPRD karena tidak diizinkan masuk ke gedung tersebut oleh pihak aparat. melihat apa yang terjadi, rasa cape, ngantuk, dan lapar hilang begitu saja dan seketika kita bertiga ikut merapat pada massa aksi.

Bersamaan dengan itu, Mungkin karena insting akan terjadinya kerusuhan,  aku melihat berbagai aktifitas yang cukup signifikan terjadi; massa aksi mengoles pasta gigi dibawah mata, pedagang – pedagang secara teratur mundur dari area demonstrasi, dan puluhan perempuan mundur untuk menjaga diri.

Terdengar hitungan mundur kedua dimulai. Disaat itu pula polisi dengan pelantang suaranya memberi rayuan – rayuan maut seumpama seorang pacar yang memberi penjelasan setelah ketahuan selingkuh. Tentu rayuan palsu itu dianggap angin lalu, dan malah dibalas makian yang sungguh nyaman terdengar telinga. Jujur saja, makian itu seakan jadi perwakilan dari perasaanku waktu itu. teruntuk kalian yang pada saat itu telah mengeluarkan berbagai caci maki tanpa rasa takut, terimakasih, hormatku pada kalian.

Massa aksi mulai tenang, lalu mereka duduk kembali sambil menyampaikan orasi secara bergantian. Satu temanku pamit untuk mencari temannya yang juga ikut aksi, dan satulagi teman mengajakku untuk mundur ke semacam gang dekat trotoar tepat disebrang gedung DPRD untuk memakai masker. Disitu, aku bertemu temanku yang lain, seorang fotografer perempuan asal malang yang sedang mendokumentasikan demonstrasi.

Disinilah kami, berdiri menyaksikan massa aksi yang memulai hitungan mundur untuk ketiga kalinya, keempat kalinya, kesekian kalinya, sampai akhirnya gerbang roboh! Hore! pagar disamping kanan roboh terlebih dahulu, lalu diikuti gerbang utama. Massa aksi lalu mencoba masuk ke gedung tersebut, tapi dihadang oleh berderet – deret pasukan kepolisian berpakaian lengkap, maju selangkah demi selangkah untuk membubarkan paksa massa aksi dengan pentungan ditangannya. Bersamaan dengan itu, mobil pengendali massa menembakan water cannon, dan polisi lainnya menembakan gas air mata yang tidak terhitung jumlahnya.

Massa aksi berlarian tak beraturan, ada yang memanjat pagar, berlari lalu tersungkur diselokan, dan hal lain yang tidak aku perhatikan karena kepanikan. Ya, panik! Semua orang termasuk kita bertiga.  Dalam kondisi terhimpit, ditembak gas air mata dan water cannon, kita bertiga mencari cara agar dapat melarikan diri, sedangkan kiri dan kanan kita tembok yang cukup tinggi. Gas air mata, siapa sih si anjing yang pertama kali bikin! Bangsat! Sedikit saja mengenainya, seperti penyakit asma, bronkitis, dan sakit mata kronis dijadiin satu. Mata memerah, perih dan sakit seketika. Pernapasan tak teratur, dan diikuti batuk dan mual sekaligus.

Temanku yang satu mengajakku memanjat pagar. Setelah melihat puluhan orang berhimpitan untuk memanjat, sepertinya itu tidak mungkin dilakukan bagi kita. Lalu aku menarik kembali temanku itu untuk  berlari saja mengikuti ribuan oranglain (yang sama – sama berhimpitan, tapi seengganya gak usah manjat pagar). Lalu kita berlari sambil berpegangan agar tidak terpisah satusama lain.

Sembari berlari menjauh dari aparat yang mulai merangsek ketengah massa aksi, caci maki seketika keluar dari mulutku. Entah sudah berapa kata – kata sampah yang keluar. Mungkin itu adalah sebuah ekspresi kekesalan, kemarahan dan kekecewaan yang memuncak saat aksi melawan kedzaliman dijawab dengan represifitas alat negara.

Setelah cukup menjauh dari lokasi kerusuhan, sambil terus berjalan dengan mata perih, seseorang memberikan air untuk membasuh muka agar dampak gas air mata menghilang. Dan seketika itu juga, aku melihat orang – orang terkapar karena kehabisan nafas, terluka, dan hal buruk lainnya setelah serangan itu. Mobil ambulan mulai datang. Dan orang – orang mulai menggotong massa aksi yang terluka untuk dimasukkan pada mobil ambulan tersebut, banyak juga massa aksi yang diantar memakai sepeda motor karena mobil ambulan kelebihan kapasitas. Setelah kejadian itu, sebagian massa aksi masih bertahan dilokasi. sedangkan kedua temanku pamit satu persatu meninggalkan lokasi, karena kondisi lingkungan dan fisik yang tidak kondusif. Sedangkan aku melanjutkan kegiatan dengan memotret hal – hal apa saja yang menurutku layak untuk diabadikan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk perlawanan yang bisa aku lakukan, tentunya sembari mengeluarkan caci maki dan mengulurkan jari tengah pada mereka. Hehe.













No comments:

Post a Comment