Jam
menunjukan setengah empat sore. Aku bersama kedua temanku tengah berada di area
pertamanan sebelah barat gedung DPRD untuk beristirahat sejenak. Lalu, Samar - samar hitungan mundur terdengar; “8!..7!...6!...5!...4!...3!...2!...1!”. “wah, pasti
mau ngedobrak paksa nih” pikirku dalam hati. Aku dan dua temanku seketika
berdiri untuk melihat apa yang terjadi. betul saja, massa aksi tengah mendorong
pagar gedung DPRD karena tidak diizinkan masuk ke gedung tersebut oleh pihak
aparat. melihat apa yang terjadi, rasa cape, ngantuk, dan lapar hilang begitu
saja dan seketika kita bertiga ikut merapat pada massa aksi.
Bersamaan
dengan itu, Mungkin karena insting akan terjadinya kerusuhan, aku melihat berbagai aktifitas yang cukup
signifikan terjadi; massa aksi mengoles pasta gigi dibawah mata, pedagang –
pedagang secara teratur mundur dari area demonstrasi, dan puluhan perempuan
mundur untuk menjaga diri.
Terdengar
hitungan mundur kedua dimulai. Disaat itu pula polisi dengan pelantang suaranya
memberi rayuan – rayuan maut seumpama seorang pacar yang memberi penjelasan
setelah ketahuan selingkuh. Tentu rayuan palsu itu dianggap angin lalu, dan
malah dibalas makian yang sungguh nyaman terdengar telinga. Jujur saja, makian
itu seakan jadi perwakilan dari perasaanku waktu itu. teruntuk kalian yang pada
saat itu telah mengeluarkan berbagai caci maki tanpa rasa takut, terimakasih,
hormatku pada kalian.
Massa
aksi mulai tenang, lalu mereka duduk kembali sambil menyampaikan orasi secara
bergantian. Satu temanku pamit untuk mencari temannya yang juga ikut aksi, dan satulagi
teman mengajakku untuk mundur ke semacam gang dekat trotoar tepat disebrang
gedung DPRD untuk memakai masker. Disitu, aku bertemu temanku yang lain,
seorang fotografer perempuan asal malang yang sedang mendokumentasikan
demonstrasi.
Disinilah
kami, berdiri menyaksikan massa aksi yang memulai hitungan mundur untuk
ketiga kalinya, keempat kalinya, kesekian kalinya, sampai akhirnya gerbang
roboh! Hore! pagar disamping kanan roboh terlebih dahulu, lalu diikuti gerbang
utama. Massa aksi lalu mencoba masuk ke gedung tersebut, tapi dihadang oleh
berderet – deret pasukan kepolisian berpakaian lengkap, maju selangkah demi
selangkah untuk membubarkan paksa massa aksi dengan pentungan ditangannya.
Bersamaan dengan itu, mobil pengendali massa menembakan water cannon, dan polisi lainnya
menembakan gas air mata yang tidak terhitung jumlahnya.
Massa
aksi berlarian tak beraturan, ada yang memanjat pagar, berlari lalu tersungkur
diselokan, dan hal lain yang tidak aku perhatikan karena kepanikan. Ya, panik!
Semua orang termasuk kita bertiga. Dalam
kondisi terhimpit, ditembak gas air mata dan water cannon, kita bertiga mencari cara agar dapat melarikan diri, sedangkan
kiri dan kanan kita tembok yang cukup tinggi. Gas air mata, siapa sih si anjing
yang pertama kali bikin! Bangsat! Sedikit saja mengenainya, seperti penyakit
asma, bronkitis, dan sakit mata kronis dijadiin satu. Mata memerah, perih dan
sakit seketika. Pernapasan tak teratur, dan diikuti batuk dan mual sekaligus.
Temanku
yang satu mengajakku memanjat pagar. Setelah melihat puluhan orang berhimpitan
untuk memanjat, sepertinya itu tidak mungkin dilakukan bagi kita. Lalu aku
menarik kembali temanku itu untuk
berlari saja mengikuti ribuan oranglain (yang sama – sama berhimpitan,
tapi seengganya gak usah manjat pagar). Lalu kita berlari sambil berpegangan agar tidak terpisah satusama lain.
Sembari
berlari menjauh dari aparat yang mulai merangsek ketengah massa aksi, caci maki
seketika keluar dari mulutku. Entah sudah berapa kata – kata sampah yang keluar.
Mungkin itu adalah sebuah ekspresi kekesalan, kemarahan dan kekecewaan yang memuncak
saat aksi melawan kedzaliman dijawab dengan represifitas alat negara.
Setelah
cukup menjauh dari lokasi kerusuhan, sambil terus berjalan dengan mata perih,
seseorang memberikan air untuk membasuh muka agar dampak gas air mata
menghilang. Dan seketika itu juga, aku melihat orang – orang terkapar karena
kehabisan nafas, terluka, dan hal buruk lainnya setelah serangan itu. Mobil
ambulan mulai datang. Dan orang – orang mulai menggotong massa aksi yang
terluka untuk dimasukkan pada mobil ambulan tersebut, banyak juga massa aksi
yang diantar memakai sepeda motor karena mobil ambulan kelebihan kapasitas.
Setelah kejadian itu, sebagian massa aksi masih bertahan dilokasi. sedangkan
kedua temanku pamit satu persatu meninggalkan lokasi, karena kondisi lingkungan
dan fisik yang tidak kondusif. Sedangkan aku melanjutkan kegiatan dengan
memotret hal – hal apa saja yang menurutku layak untuk diabadikan. Hal ini
dilakukan sebagai bentuk perlawanan yang bisa aku lakukan, tentunya sembari
mengeluarkan caci maki dan mengulurkan jari tengah pada mereka. Hehe.
No comments:
Post a Comment