Sunday, November 3, 2019

RELIKUI ASA




26 juli 2016, salahsatu daerah dikota Bandung telah terjadi penggusuran paksa yang melibatkan salahsatu korporasi dan pemerintah daerah kota Bandung. Penggusuran ini melibatkan berbagai elemen negara seperti TNI-POLRI sebagai “pengaman” agar proses penggusuran yang secara prosedural cacat hukum itu berjalan dengan semestinya. Tak ada yang luput dari proses nya, dari rumah hingga instalasi listrik dibabat habis oleh mereka.

Berangkat dari pengalaman saya sebagai orang yang pernah mengalami hal serupa; penderitaan tidaklah berakhir sehabis penggusuran terjadi. Semua hal ini memberikan dampak berkepanjangan bagi korban tergusur, selain karena tak ada tempat untuk berteduh, juga menjadi beban sosiologis, psikologis dan (tentu saja) ekonomi untuk melanjutkan kehidupan mereka dikemudian hari.

Secara substansial, Rumah sebagai tempat yang sakral bagi penghuninya kini tinggaL angan. Hal tersebut membenarkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan begitu nihil; jika didalamnya melibatkan ketamakan segelintir umat manusia.

 Maka dari itu, sebagai orang yang masih memiliki rasa kemanusiaan terhadap sesama, saya membuat proyek “Relikui Asa” sebagai refleksi saya pribadi terhadap masa lalu sekaligus memberi dukungan secara moriil atas ketidak adilan yang terjadi dimanapun itu berada.








































Wednesday, September 25, 2019

30 MENIT SEBELUM NEGARA API MENYERANG


Jam menunjukan setengah empat sore. Aku bersama kedua temanku tengah berada di area pertamanan sebelah barat gedung DPRD untuk beristirahat sejenak. Lalu, Samar - samar hitungan mundur terdengar; “8!..7!...6!...5!...4!...3!...2!...1!”. “wah, pasti mau ngedobrak paksa nih” pikirku dalam hati. Aku dan dua temanku seketika berdiri untuk melihat apa yang terjadi. betul saja, massa aksi tengah mendorong pagar gedung DPRD karena tidak diizinkan masuk ke gedung tersebut oleh pihak aparat. melihat apa yang terjadi, rasa cape, ngantuk, dan lapar hilang begitu saja dan seketika kita bertiga ikut merapat pada massa aksi.

Bersamaan dengan itu, Mungkin karena insting akan terjadinya kerusuhan,  aku melihat berbagai aktifitas yang cukup signifikan terjadi; massa aksi mengoles pasta gigi dibawah mata, pedagang – pedagang secara teratur mundur dari area demonstrasi, dan puluhan perempuan mundur untuk menjaga diri.

Terdengar hitungan mundur kedua dimulai. Disaat itu pula polisi dengan pelantang suaranya memberi rayuan – rayuan maut seumpama seorang pacar yang memberi penjelasan setelah ketahuan selingkuh. Tentu rayuan palsu itu dianggap angin lalu, dan malah dibalas makian yang sungguh nyaman terdengar telinga. Jujur saja, makian itu seakan jadi perwakilan dari perasaanku waktu itu. teruntuk kalian yang pada saat itu telah mengeluarkan berbagai caci maki tanpa rasa takut, terimakasih, hormatku pada kalian.

Massa aksi mulai tenang, lalu mereka duduk kembali sambil menyampaikan orasi secara bergantian. Satu temanku pamit untuk mencari temannya yang juga ikut aksi, dan satulagi teman mengajakku untuk mundur ke semacam gang dekat trotoar tepat disebrang gedung DPRD untuk memakai masker. Disitu, aku bertemu temanku yang lain, seorang fotografer perempuan asal malang yang sedang mendokumentasikan demonstrasi.

Disinilah kami, berdiri menyaksikan massa aksi yang memulai hitungan mundur untuk ketiga kalinya, keempat kalinya, kesekian kalinya, sampai akhirnya gerbang roboh! Hore! pagar disamping kanan roboh terlebih dahulu, lalu diikuti gerbang utama. Massa aksi lalu mencoba masuk ke gedung tersebut, tapi dihadang oleh berderet – deret pasukan kepolisian berpakaian lengkap, maju selangkah demi selangkah untuk membubarkan paksa massa aksi dengan pentungan ditangannya. Bersamaan dengan itu, mobil pengendali massa menembakan water cannon, dan polisi lainnya menembakan gas air mata yang tidak terhitung jumlahnya.

Massa aksi berlarian tak beraturan, ada yang memanjat pagar, berlari lalu tersungkur diselokan, dan hal lain yang tidak aku perhatikan karena kepanikan. Ya, panik! Semua orang termasuk kita bertiga.  Dalam kondisi terhimpit, ditembak gas air mata dan water cannon, kita bertiga mencari cara agar dapat melarikan diri, sedangkan kiri dan kanan kita tembok yang cukup tinggi. Gas air mata, siapa sih si anjing yang pertama kali bikin! Bangsat! Sedikit saja mengenainya, seperti penyakit asma, bronkitis, dan sakit mata kronis dijadiin satu. Mata memerah, perih dan sakit seketika. Pernapasan tak teratur, dan diikuti batuk dan mual sekaligus.

Temanku yang satu mengajakku memanjat pagar. Setelah melihat puluhan orang berhimpitan untuk memanjat, sepertinya itu tidak mungkin dilakukan bagi kita. Lalu aku menarik kembali temanku itu untuk  berlari saja mengikuti ribuan oranglain (yang sama – sama berhimpitan, tapi seengganya gak usah manjat pagar). Lalu kita berlari sambil berpegangan agar tidak terpisah satusama lain.

Sembari berlari menjauh dari aparat yang mulai merangsek ketengah massa aksi, caci maki seketika keluar dari mulutku. Entah sudah berapa kata – kata sampah yang keluar. Mungkin itu adalah sebuah ekspresi kekesalan, kemarahan dan kekecewaan yang memuncak saat aksi melawan kedzaliman dijawab dengan represifitas alat negara.

Setelah cukup menjauh dari lokasi kerusuhan, sambil terus berjalan dengan mata perih, seseorang memberikan air untuk membasuh muka agar dampak gas air mata menghilang. Dan seketika itu juga, aku melihat orang – orang terkapar karena kehabisan nafas, terluka, dan hal buruk lainnya setelah serangan itu. Mobil ambulan mulai datang. Dan orang – orang mulai menggotong massa aksi yang terluka untuk dimasukkan pada mobil ambulan tersebut, banyak juga massa aksi yang diantar memakai sepeda motor karena mobil ambulan kelebihan kapasitas. Setelah kejadian itu, sebagian massa aksi masih bertahan dilokasi. sedangkan kedua temanku pamit satu persatu meninggalkan lokasi, karena kondisi lingkungan dan fisik yang tidak kondusif. Sedangkan aku melanjutkan kegiatan dengan memotret hal – hal apa saja yang menurutku layak untuk diabadikan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk perlawanan yang bisa aku lakukan, tentunya sembari mengeluarkan caci maki dan mengulurkan jari tengah pada mereka. Hehe.













Thursday, February 7, 2019

PENGGERUSAN SOSIALISME VENEZUELA

Venezuela kaya akan minyak bumi. Cadangan minyak bumi terbesar di dunia ada di negeri ini. Kendati begitu, krisis ekonomi tak berkesudahaan mendera Venezuela.

Apa yang terjadi di Venezuela merupakan kontradiksi. Sebab, tingginya pendapatan negara tak berbanding lurus dengan stabilitas ekonomi nasional. Dengan demikian, muncul pertanyaan mendasar, “Mengapa Venezuela mengalami krisis?”

Hiperinflasi

Minyak bumi menjadi pendapatan utama negara Venezuela. Komoditas ini mendominasi lebih dari 90% total pendapatan negara. Apalagi akibat kenaikan harga minyak dunia secara signifikan, Venezuela meraup untung besar. Pemerintah mengalokasikan sepenuhnya keuntungan itu untuk kesejahteraan masyarakat. Alhasil, secara bertahap prosentase kemiskinan di Venezuela menurun. Kebijakan ini sejalan dengan ideologi negara Venezuela, sosialisme.

Namun demikian, perkembangan ekonomi Venezuela tak selamanya mulus. Sejumlah masalah muncul dan berujung pada hiperinflasi. Terhitung sejak Juli 2018 prosentase inflasi menyentuh 83.000%. Diperkirakan, hiperinflasi akan terus meningkat hingga 1 juta%.

Krisis Venezuela tak lepas dari faktor eksternal dan internal. Di sisi eksternal, sedikitnya ada tiga faktor pemicu. Di antaranya, sanksi ekonomi Amerika Serikat kepada Venezuela, menurunnya ekspor minyak Venezuela ke Amerika Serikat, dan imbas jatuhnya harga minyak dunia.

Sementara pada sisi internal, situasi politik dalam negeri lebih mendominasi. Pasca Hugo Chavez, pemerintahan Venezuela labil. Akibatnya, politik elektoral kian carut marutnya. Paling telak, lemahnya kebijakan ekonomi Venezuela sejak era Presiden Hugo Chaves sampai Maduro.

Akan tetapi, terlepas itu semua, intervensi asing tampil sebagai faktor utama pemicu krisis di Venezuela. Intervensi ini bertujuan mengguncang kondusifitas Venezuela melalui dekonstruksi struktur sosial.

Kehadiran oposisi di Venezuela, misalnya. Di tengah krisis, oposisi semakin masif mengkritisi kebijakan Maduro melalui berbagai aksi massa mulai dari aksi damai sampai pada aksi yang radikal. Semua aksi ini dianggap sebagai respon terhadap krisis.

Masyarakat Venezuela terpecah atas dua kubu oposisi. Pertama, kubu faksi moderat terdiri dari para mantan pendukung Hugho Chaves. Mereka mengkritik kebijakan Maduro. Kedua, kubu faksi sayap kanan. Para pendukung kubu ini sangat radikal menuntut Maduro mundur sekaligus mengakhiri praktik sosialisme di Venezuela.

Oposisi kalangan legislatif. Oposisi dari lembaga legislatif kini mendominasi sebagian besar kursi di parlemen. Mereka menyerukan militer dan masyarakat untuk melawan rezim Maduro. Mereka menilai Madura sebagai diktator.


Dilema Sosialisme


Krisis Venezuela mempertanyakan kembali soal urgensi sosialisme di Venezuela. Lantaran, sosialisme dianggap telah gagal membangun struktur ekonomi yang stabil dan mapan. Akibatnya, muncul paradigma negatif terhadap sosialisme. Ideologi ini dianggap tak lagi relevan dalam menghadapi situasi ekonomi politik internasional yang semakin menguat.

Apalagi, beberapa negara dunia ketiga dengan haluan sosialisme pernah mengalami krisis serupa. brazil, argentina dan chile adalah contoh pemerintahan yang dahulunya sangat sosialistis, namun pada akhirnya mereka “menyerah pada situasi”. Meski penyebab utama krisis adalah situasi ekonomi setempat, krisis ini tak terlepas dari intervensi pemerintah Amerika Serikat yang salahsatunya melalui lembaga bernama Atlas Network. Operasi Atlas
Network di Amerika Latin berupaya mendorong perubahan rezim suatu negara yang bekerjasama dengan jaringan pro-pasar setempat. Cara kerja ini terbukti berhasil menumbangkan rezim sosialis. Bahkan, Amerika Serikat kini meng intervensi Venezuela secara terang - terangan, dengan mengakui pemimpin oposisi Juan Guaido sebagai presiden sementara Venezuela.

Di pihak lain, justru negara dengan haluan ekonomi kapitalisme justru mampu bertahan menghadapi gejolak perekonomian nasional maupun internasional. Para negara penganutnya mengklaim, kesejahteraan masyarakat dapat dicapai melalui desentralisasi ekonomi, dan akumulasi modal perorangan dalam suatu bisnis tanpa campur tangan pemerintah.

Kendati begitu, ini bukan soal sosialisme atau kapitalisme. Tapi, ini soal kepentingan kelompok. Kepentingan ini memicu tindakan dengan sistem ekonomi sebagai alatnya. Noam Chomsky pernah menyebut bahwa “Salah satu doktrin tidak tertulis dalam hubungan internasional adalah apa yang disebut Doktrin Mafia. Kebijakan internasional negara besar dijalankan kurang lebih sama dengan cara kerja kelompok Mafia itu. Kalau ada pemilik toko yang tidak mau membayar upeti, pemiliknya akan disiksa atau dibunuh. Kadang-kadang kelompok Mafia itu tidak membutuhkan upeti dari pemilik toko kecil tadi, tapi kalau dibiarkan, mereka khawatir pembangkangan itu akan meluas dan melemahkan kekuatan mereka”. Dalam konteks ini, kebijakan ekonomi Venezuela dianggap tak sejalan dengan kepentingan ekonomi politik internasional. Artinya, Venezuela sedang berhadapan dengan sebuah blok ekonomi raksasa yang hegemonik. Kebijakan ekonomi Venezeula menjadi minoritas di hadapan ekosistem ekonomi politik internasional. Konsekuensinya, akan lebih sulit berdaulat. Tak hanya itu, intervensi internasional turut pula mengancam. Ujungnya kebijakan ekonomi Venezuela sulit bertahan.

Venezuela dan negara Dunia Ketiga dengan krisis serupa merupakan korban "Perang Ekonomi". Negara – negara dunia ketiga ini, terutama wilayah Amerika Latin memiliki pengalaman relatif sama, yakni intervensi asing yang memicu goyahnya struktur ekonomi, dan sosial politik. Selanjutnya, kepentingan politik internasional secara sistematis menggerus sosialisme, dan memaksa negara menyerah pada sistem kapitalisme internasional. Tahap berikutnya, Bank Dunia menawarkan pinjaman sebagai solusi. Pinjaman diberikan dengan berbagai syarat. Salah satunya, pengubahan sistem ekonomi menjadi ekonomi liberal.
Krisis ekonomi di Venezuela dan sejumlah negara sosialis lainnya di Dunia Ketiga menyadarkan akan pentingya sebuah wadah bersama. Tak ada cara lain, selain membangun organisasi internasional bagi negara-negara sosialis yang masih berdiri, terutama di Amerika Latin. Melalui wadah ini, negara-negara sosialis tampil sebagai kekuatan baru yang mengimbangi intervensi kapitalisme internasional. Dengan didukung kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang mumpuni, wadah negara- negara sosialis ini akan setara dengan Uni Eropa atau Amerika Serikat. Dengan begitu, mereka dapat membangun perekonomian nasional yang aman dan stabil.